Alumni Dalam Lika-Liku Organisasi



Beberapa waktu lalu, saat sedang asyik scrolling di Twitter, saya membaca sebuah tweet dari akun @superdoraemon. Isinya adalah sindiran untuk alumni organisasi yang masih aktif terlibat dalam masalah-masalah internal.  Dia juga menyindir alumni di umur 30-an seharusnya fokus saja pada hidupnya. 
Tweet ini punya engagement yang cukup tinggi. Lebih dari 12.000 likes, 5.000-an retweet dan 600-an replies membuat tweet ini bisa dibilang viral. 
Saya membaca kolom replies dan banyak yang beranggapan sama soal alumni di organisasi mereka. 

Sebagai seseorang yang aktif di organisasi, saya merasa unggahan tersebut sangat relate.  Bisa dibilang, semua orang yang aktif di bidang ini pasti punya cerita masing-masing soal alumni. Sejak SMA, saya sudah melewati 3 fase penting di organisasi; anggota, pengurus dan alumni. Ketiganya punya sudut pandang tersendiri. Biasanya, di fase pengurus, senior (termasuk alumni) menjadi satu hal yang pasti diperbincangkan. Saya melihat ada tipe-tipe alumni selama saya berorganisasi sampai lulus kuliah.  Misalnya, ada yang tidak peduli, terlibat seperlunya atau terlibat sangat aktif. Semua tipe itu tergambar di tiap organisasi yang saya ikuti. 

Saat SMA, saya aktif di OSIS dan ekstrakurikuler Sastra dan Budaya. Di dua organisasi ini, saya mengamati karakteristik alumni  yang cukup sama. Mereka hanya akan datang jika diundang dan terlibat seperlunya. Biasanya mereka bertemu dan berdiskusi dengan juniornya saat ada acara besar, misalnya pentas seni, buka bersama, ulang tahun organisasi atau pergantian kepengurusan. Mereka akan berbagi pengalaman, memberikan saran dan rekomendasi atau membantu teknis acara di hari pelaksanaan. 

Lalu, ketika kuliah, saya sempat jadi staff BEM Fakultas selama 2 tahun. Disini, justru saya merasakan nihilnya keberadaan alumni. Di awal kepengurusan, kami sempat bertemu dengan senior dari kepengurusan sebelumnya. Mereka hanya bercerita tentang pengalaman tahun lalu dan itu pun sekali saja. Sepanjang tahun kepengurusan, kami bebas berkreasi soal program dan tugas kerja.  

Selain itu, saya juga aktif beberapa tahun di salah satu unit kegiatan mahasiswa di bidang kesenian.  Di organisasi ini, untuk pertama kalinya, semua tipe alumni ada di satu tempat. Bisa dibilang ini yang paling kompleks tingkatannya. Harus saya akui dulu kalau ikatan alumni di UKM ini sangat kuat.

Sebagian alumni sangat aktif terlibat, misalnya dalam acara pagelaran. Acara ini butuh konsep, tenaga, dan usaha yang besar. Alumni biasanya berperan dalam beberapa inti acara, seperti sutradara, pelatih, penggarap dan pemain musik, penari, sinden, dan kru-kru. Keterlibatan yang masif ini terkadang menjadi bias. Ada beberapa momen dimana tidak ada batas antara pengambil keputusan dan 'pembantu' acara. 

Sebenarnya, kolaborasi antara alumni, anggota aktif serta pengurus sangat menguntungkan. Namun, alumni seharusnya memiliki batasan dalam memberi saran, menasehati dan membantu junior-juniornya. 
Saya rasa ini yang menjadi keresahan dari munculnya tweet sindiran soal alumni. 

Sudah pasti kalau suatu kepengurusan itu tidak ada yang sempurna. Alumni jelas punya pengalaman yang serupa walau tantangannya berbeda. Sebagian alumni tentu masih ingin berkontribusi demi keberlanjutan organisasi yang mereka bangun. Tetapi, jangan sampai niat kontribusi ini menjadi bumerang yang justru akan menghancurkan organisasi itu sendiri.

Comments

Popular Posts