Laut Bercerita - Leila S. Chudori, Kisah Kelam Sembilan Aktivis yang Hilang





Matilah engkau mati

Kau akan lahir berkali-kali…


Sebait puisi dari Soetardji Calzoum Bachri yang jadi pembuka sekaligus menggambarkan keseluruhan isi cerita. 

Laut Bercerita, seperti judulnya, berisi rangkaian kisah yang dituturkan oleh Biru Laut Wibisana dari tempat kematiannya: Laut dalam. 


Novel ini berlatar tahun 1991 - 2007 yang terinspirasi dari kisah nyata gerakan mahasiswa 1998. Terdapat dua sudut pandang dalam cerita, yaitu Biru Laut dan Asmara Jati, adik perempuan Laut. 

Pada bagian pertama, Laut sedang digiring ke tebing dengan lautan luas dihadapannya. Setelah hampir 3 bulan disiksa, dia dibuang ke laut oleh sekelompok orang suruhan pemerintah. Dari dalam laut, dia mulai bercerita yang bermula di Seyegan pada 1991. 


Laut bersama beberapa temannya: Sunu, Kinan, Daniel, Bram, Alex, Julius, Dana tergabung dalam organisasi mahasiswa bernama Wirasena. Mereka aktif berdiskusi soal ketidakadilan di bawah pemerintahan yang otoriter saat itu.


Buku-buku terlarang seperti karya Pramoedya Ananta Toer juga menjadi salah satu bahan diskusi. Mereka bahkan mempunyai markas rahasia agar kegiatan mereka aman dari intaian. Ada beberapa seniman yang juga bergabung dalam organisasi ini, salah satunya bernama Anjani - kekasih Laut -. 


Di dalam Bab I, pembaca diajak menyelami kehidupan Laut yang kompleks. Dia bercerita bagaimana gerakan mahasiswa bergerak diam-diam membantu masyarakat. Salah satunya ketika ada aksi di Blangguan yang akhirnya gagal. Lalu, di tahun 1996, organisasi Wirasena dan Winatra dinyatakan organisasi terlarang.


Maka, Laut dan teman-temannya hidup sebagai buronan yang berpindah-pindah tempat ke beberapa kota. Mereka juga beberapa kali menggunakan identitas palsu. Sampai akhirnya Maret 1998, satu persatu dari mereka tertangkap di Jakarta. Laut menjelaskan bagaimana dia dan teman-teman disiksa dan diminta mengungkapkan siapa dalang dibalik gerakan mahasiswa. Kisahnya berakhir saat dia dibuang ke laut oleh orang asing yang menyiksanya. 


Bagian dua diceritakan oleh Asmara Jati, seorang dokter muda yang mencari keberadaan kakaknya yang hilang. Dia bersama Komisi Orang Hilang dan beberapa korban penyiksaan yang dipulangkan berusaha mencari nasib dan keberadaan sembilan aktivis, termasuk Laut. Leila sangat piawai menyentuh emosi pembaca di bab ini. Kehilangan yang dirasakan keluarga selama bertahun-tahun digambarkan dengan pilu.


Asmara punya peran penting karena dia berusaha tetap logis sementara keluarganya hidup dalam fantasi saat Laut masih bersama mereka. Walaupun Asmara juga sangat kehilangan, dia berusaha keras menuntut tanggung jawab pemerintah bersama komisinya. Mereka bahkan ikut konferensi Internasional tentang isu penghilangan paksa. 


Aksi juga mereka lakukan di depan Istana Negara setiap kamis dengan ciri khas pakaian hitam. Aksi ini juga nyata dilakukan sebagai aksi kamisan. Cerita berakhir saat semua keluarga dan teman-teman sembilan aktivis yang hilang berada di tengah laut. Mereka menabur bunga dan melepas bingkai foto Laut dan teman-temannya. Di tahun 2007, dengan diadakannya prosesi di laut lepas tersebut, semua teman dan keluarga akhirnya mengucapkan selamat tinggal pada orang yang dicintainya. 


Laut bercerita memang fiksi yang menggugah hati, tapi ada sejarah kelam yang sesungguhnya makin membuat pedih. Leila mengambil cerita nyata penyiksaan yang dialami salah satu aktivis 1998, Nezar Patria. Dia juga mewawancarai keluarga yang kehilangan dan terus mencari jawaban.


Penulis juga sangat detail menggambarkan bagaimana rasa kemanusiaan dinodai oleh kekuasaan dan rezim yang kejam. Bagaimana bisa hak-hak rakyat dirampas dengan sangat keji.


Melalui karya ini, pembaca diingatkan akan sejarah kelam Indonesia yang baru dua dekade lalu terjadi. Novel ini tak bisa dibaca tanpa berurai air mata. 



Comments

Popular Posts