Sampar - Albert Camus, Fenomena Epidemi dalam Karya Fiksi
Merebaknya virus Covid-19 di awal tahun 2020 merupakan kejadian luar biasa bagi penduduk bumi, statusnya bahkan ditetapkan sebagai pandemi oleh Organisasi Kesehatan Dunia, artinya wabah sudah menyebar ke hampir seluruh negara. Di tengah kemunculannya, wabah ini sering dikaitkan dengan karya fiksi ilmiah yang menyerupai situasi dunia saat ini, contohnya dalam film Contagion yang dirilis pada tahun 2011, memiliki alur cerita tentang merebaknya virus mematikan di sebuah kota di Tiongkok. Jauh sebelum itu, cerita tentang epidemi juga bisa ditemukan dalam karya sastra novel, salah satunya dalam karya penulis Perancis, Albert Camus Novel tersebut berjudul La Peste yang disadur menjadi Sampar dalam Bahasa Indonesia. Dalam sejarah kesusastraan Perancis, nama penulis yang lahir di Aljazair ini tercatat sebagai sastrawan dan filsuf abad ke-20. Pada tahun 1957, Camus menerima penghargaan Nobel kesusastraan berkat karyanya La Peste, yang terbit di tahun 1947.
La Peste bercerita tentang keadaan di suatu kota dengan kehidupan modern yaitu Oran, Aljazair. Kota ini dikarantina selama wabah pes (sampar) merajalela. Cerita dinarasikan oleh salah satu tokoh utama, yaitu seorang dokter bernama Bernard Rieux. Tokoh lain pelengkap novel ini diantaranya adalah Tarrou seorang pendatang, penulis dan pemerhati keadaan kota, serta ketua relawan saat wabah, Grand si pegawai balai kota, Rambert seorang wartawan dari Paris, Cottard mantan tawanan, Pastur Paneloux, Jaksa Othon dan penduduk Oran yang lain.
Wabah sampar dimulai pada bulan April, ditandai dengan banyaknya bangkai tikus yang ditemukan di kota. Seiring dengan itu, banyak penduduk yang mengalami penyakit dengan gejala demam, flu, kejang-kejang, sesak napas, dan munculnya kelenjar getah bening. Ketika kasus kematian akibat penyakit tersebut meningkat dan vaksin yang didatangkan dari Paris tidak berfungsi baik, pemerintah memutuskan untuk menutup kota.
Ilustrasi Kota saat Epidemi |
Saat kota Oran dalam penutupan akibat sampar, berbagai pertunjukkan kemanusiaan ditampilkan. Orang-orang terpisah dari dunia luar, perdagangan dan pariwisata terhenti, turis dan pendatang mencoba keluar kota dengan cara ilegal, kantor-kantor tutup, kelangkaan barang, kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Seiring dengan meningkatnya kasus dan kematian, penduduk mulai takut dan merasa terkucilkan, perkelahian sering terjadi, serta khotbah Pastur malah membuat penduduk semakin takut dengan mengatakan bahwa wabah ini adalah hukuman Tuhan dan orang-orang harus bertobat.
Sementara itu, di tengah epidemi, beberapa hal positif juga terlihat, seperti adanya gerakan relawan yang diinisiasi oleh Tarrou. Mereka mengedukasi masyarakat soal kesehatan, membersihkan kelder dan jalanan dengan cairan suci hama, membantu mencatat kematian, menyetir ambulans untuk menjemput orang sakit atau mengantar orang meninggal, juga membantu para dokter.
Sampar mengepung kota sampai awal musim gugur, penyakit ini juga berevolusi dan menyerang paru-paru. Saat itu, pemakaman sudah tidak sanggup menampung korban, sehingga tempat pembakaran mayat dipilih untuk mengatasi krisis tersebut. Penduduk semakin depresi, itu karena banyak orang-orang yang mereka cintai mati. Sementara, vaksin sampar terus diuji coba, lalu gagal dan membuat orang menderita. Namun, di bulan Desember, banyak orang terkena sampar dan menunjukkan kesembuhan. Di bulan Januari, vaksin mulai menunjukan keberhasilan pada pasien dan semakin banyak orang yang sembuh. Akhirnya, di awal Februari, pemerintah membuka pintu kota dan menyatakan sampar telah pergi, semua penduduk merayakan itu dan mereka bertemu kembali dengan keluarga dan orang-orang yang dicinta dari luar kota Oran.
Ilistrasi Epidemi |
Lewat karya ini, sebenarnya Camus menganalogikan sampar dengan nazisme atau okupansi Jerman terhadap Perancis saat Perang Dunia II. Namun, saat La Peste dimaknai secara literal, epidemi ini menunjukkan sisi kemanusiaan saat orang-orang dikepung penyakit menular tak kasat mata. Melalui tokoh dokter Rieux, misalnya, dalam cerita ia tidak digambarkan sebagai pahlawan penyelamat, ia hanya menjalankan tugasnya sebaik mungkin sebagai dokter. Bahkan di saat puncak epidemi, ia tidak bertugas untuk menyelamatkan pasien, tetapi ia hanya berusaha memisahkan mereka yang terjangkit dari khalayak ramai. Rieux beranggapan bahwa dunianya dan sampar adalah dunia abstrak, yang berarti berlainan dengan kebahagiaan. Untuk melawan dunia abstrak itu, kita harus menjelma keabstrakan itu sendiri. Kadang, dunia abstrak itu jelas lebih kuat daripada kebahagiaan dan di saat itulah kita harus menerimanya.
Lalu, beberapa tokoh yang lain, merepresentasikan beragam sikap manusia saat menghadapi epidemi juga bagaimana mereka belajar dari situasi tersebut. Seperti halnya Tarrou, penulis dan pengamat yang sangat peduli terhadap kota Oran, ia memimpin grup relawan dan berdiskusi dengan Rieux juga pemerintah setempat terkait penanganan sampar. Rambert, wartawan dari Paris yang terjebak. Ia terus berusaha melarikan diri karena ia merasa dipisahkan oleh kebahagiaan dan tak bisa bertemu istrinya, tetapi selama percobaan itu ia mengenal Rieux yang mempunyai pemikiran yang bertentangan hingga membuatnya berubah pikiran. Akhirnya, ia menetap disana sampai epidemi selesai dan menjadi relawan selama kota ditutup. Grand, pegawai biasa yang cekatan, ia mengerjakan semua tugas dan tugas tambahan sebagai relawan tanpa mengeluh. Cottard, mantan tawanan yang merasa bebas selama masa epidemi, karena ia harus masuk penjara kalau tak ada wabah itu. Pastur Paneloux, yang awalnya menyampaikan khotbah kalau sampar adalah hukuman Tuhan, berpandangan lain di khotbah keduanya sebelum ia meninggal. Ia berkata kalau agama pada masa epidemi tidak bisa sama dengan agama di waktu normal, ia mengajak jemaatnya untuk sama-sama melawan sampar.
Sebagaimana tokoh-tokoh di atas, penduduk Oran secara umum mengalami perubahan psikis selama berbulan-bulan akibat ketakutan, depresi, pengucilan dan perpisahan. Secara sederhana, Camus mengatakan bahwa sampar berarti pengucilan dan perpisahan. Dua hal ini merenggut kehidupan manusia yang « normal ». Walaupun, pada akhirnya mereka akan menemukan lagi kebahagiaan. Di beberapa paragraf terakhir, Camus menulis bahwa dengan hilangnya sampar, sesungguhnya itu bukan akhir sama sekali. Penyakit ini akan menetap di balik lemari, pakaian, perabotan dan beberapa puluh tahun kemudian, ia akan kembali di kota yang tentram untuk memberi pelajaran pada manusia.
Sebagai karya fiksi berbentuk cerita kronik, La Peste merupakan gambaran umum manusia yang rentan akan pengucilan dan ancaman kematian oleh berbagai kondisi. Dilihat dari konteks epidemi, karya ini menampilkan format atau pola tertentu dari apa yang selalu terjadi selama suatu wabah menjangkiti manusia dalam jumlah banyak. Perbedaanya adalah bagaimana manusia akan merespon, bersikap, belajar dari kesalahan, dan terutama mengantisipasi jika epidemi serupa merebak lagi di masa yang akan datang.
Comments
Post a Comment