30 Hari Bercerita 2020 - Cerita dan Sajak PIlihan

30 Hari Bercerita merupakan event menulis tahunan di instagram. Setiap awal tahun, selama 30 hari siapapun bisa berpartisipasi dalam tantangan menulis ini. Tujuan program ini sebenarnya ingin membentuk kebiasaan menulis bagi siapapun yang suka menorehkan kata-kata. Tulisan yang dibuat bebas, tetapi ada hari-hari tertentu penyelenggara akan menentukan satu tema spesifik. Tidak ada hadiah atau hukuman bagi peserta yang rajin menulis 30 hari atau yang hanya beberapa hari saja. Tantangan ini sifatnya tidak memaksa, tetapi akan rugi kalau tidak menulis selama 30 hari penuh karena lewat event ini tulisan peserta bisa dibaca oleh lebih banyak orang, bahkan penulis terkenal.  
Secara pribadi, saya berpartisipasi dalam event ini sejak tahun 2017. Tahun ini, tulisan saya banyak terinspirasi dari petualangan di Perancis tahun lalu. Saya merangkum cerita dan sajak pilihan yang banyak berbicara tentang mimpi, penjelajahan, asa dan rasa. 

1. Terbang 

Apa rasanya mengudara
Berselancar di atas awan putih menggumpal
Berlatar cakrawala biru, jingga, hingga hitam
Fragmen-fragmen warna yang terefleksi di bingkai kecil jendela
Membawa benak melanglangbuana bebas di ruang hampa
Bergantian menggugah rasa

Biru yang teduhnya sejukkan sukma
Jingga yang pesonanya meluruh renjana
Hitam yang menampik lara

Apa rasanya menjauh dari mayapada
Menjadi begitu tinggi tak tergapai
Mengecil bak buih di lautan 
Menjelma titik-titik cahaya yang berpendar di kala kelam
Mendobrak batas imaji saat retina bertukar sapa dengan semesta
Membawa jauh untuk merengkuh mimpi yang sebentar lagi nyata
Atau meninggalkan apapun yang diluar jangkauan

2. Terbiasa 



Aku mulai terbiasa pada senja yang terlambat datang. Bukan berarti ia ingkar. Hanya saja, mentari musim panas ingin berlama-lama tinggal. 
Membiarkan manusia-manusia di bawahnya mempunyai lebih banyak waktu untuk bersenang-senang. 
Ditemani musik ceria yang tak hentinya berdendang.

Aku mulai membiasakan diri pada makan malam yang terasa asing. Bukan karena bising. Hanya saja, dua jam di meja makan membuatku pusing. Makanan bertahap-tahap yang tak menyisakan ruang. Suguhan snack aperitif, salad hingga kopi sesuai selera. Semua orang bertanya tentang negara yang membuat mereka penasaran. Lalu larut dalam percakapan penuh keberagaman. 

Aku juga terbiasa pada terang jam sepuluh malam. Bukan berarti aku senang kulitku menggelap dengan cepat. Hanya saja, ternyata kota menguak cerita pada terang malam yang tak biasa. 

Namun aku tak terbiasa pada gulita yang terlalu cepat singgah. Sunyi yang tiba-tiba merayap. Seolah tak ada waktu untuk beristirahat. Bagi raga yang lelah menjelajah. Bagi jiwa yang letih membendung asa. 
Bagi pikir yang tak berhenti merekam nostalgia. Juga bagi sanubari yang didera gundah. 

3. Teater Improvisasi 

Selayaknya festival musim panas, berbagai pertunjukkan disajikan untuk menarik wisatawan. Konser musik, pertunjukan sulap, akrobat, pameran seni, atau stand makanan. Namun, ada yang menarik saat aku mengunjungi Festival Bouillez di desa Bouillé, Poitou-Charentes. Terdapat satu sesi pertunjukkan teater yang dikenal sebagai Théâtre d'improvisation atau teater improvisasi. Pendek kata, ini adalah pertunjukkan teater yang dimainkan tanpa naskah. Aku ingat pernah belajar dan mencoba teater ini di salah satu mata kuliah. Beruntung bisa menyaksikan langsung di negara asalnya.

Teater ini dimainkan berkelompok. Dengan kostum merah sederhana, beberapa peralatan musik dan lakon yang dimainkan dengan penuh komedi, kelompok ini mampu mencuri atensi pengunjung yang datang. 
Lakon dimulai di tempat, tanpa naskah dan bahkan mengajak beberapa penonton untuk ikut berperan. Mereka bermain 4 sesi, dengan durasi sekitar 10 menit per sesinya. 
Penonton diajak berkeliling desa karena mereka bermain dengan latar yang berbeda-beda. Pertama di depan toko, lalu pindah ke halaman gereja, halte bus, rumah orang dan lapangan. 

Cerita yang dimainkan sederhana, menyiratkan pesan moral dan gelak tawa. Ada satu momen saat mereka bermain di depan rumah seseorang,lalu beberapa saat kemudian pemilik rumah tersebut keluar dan mengusirnya. Dengan cepat mereka merubah cerita dan segera berpindah tempat. Benar-benar improvisasi yang nyata. 

Sejujurnya, saat aku menonton pertunjukkan itu, banyak percakapan-percakapan yang tak aku mengerti. Aku hanya menyimak gestur dan mencoba melihat konteks dari keseluruhan lakon yang dimainkan. Ternyata belajar linguistik berguna juga di saat-saat seperti ini. 

Belajar dari teater improvisasi, aku menyadari, terkadang hidup tak selalu butuh naskah. Hanya butuh menerima apa-apa yang datang dan berimprovisasi dengan tantangan yang disertainya. 

4. Catatan hari ke-22 

 Rinai mulai sering hadir di tanah Perancis
Walau mentari juga tak ingin kalah bersolek diri
Hembusan angin kini membelai sedikir garang
Tak apa 
Karena kami lebih senang kedinginan
14.000 km jauhnya
16 jam penerbangan
melayang di atas cakrawala
menuju separuh dunia

22 hari, 
Kini mulai terasa
Mimpi yang sebentar lagi usai
Momen yang akan jadi nostalgia
Asa yang tak akan padam
Renjana yang menyatukan dua puluh dua asal

5. Akhir Penjelajahan Mimpi


Langkahku terhenti setelah ratusan anak tangga membawaku ke Basilique du Sacré-coeur. 
Langit sore itu meluruh lelah yang terasa di seluruh raga. 
Senyum terkembang saat retina dimanja deret gedung dari kejauhan.
Riuh ramai pengunjung serta iringan musik menghidupakan satu sore di musim panas. 

Pikirku melayang jauh. Menembus menara Montparnasse dan kubikal bangunan yang mengecil. Ternyata aku sanggup bertualang sejauh itu. Bertolak dari menara Eiffel, Montparnasse, Jardin du Luxembourg, Panthéon, Sorbonne, Grande Mosquée de Paris, Notre Dame, Louvre, lalu naik metro untuk sampai disini. 

"Jadi, sudah berakhir ya ?" pikirku kala itu. 
"Lalu, setelah ini apa ? ".
Aku memandang cakrawala yang mulai memancar warna nila. Beberapa lampu tampak berpijar menerangi kota. 
Kontemplasiku kini beranjak jauh. Paris bagiku masih terasa seperti mimpi panjang, yang akan segera berakhir setelah aku terbangun. Sebentar lagi aku akan bangun. Tentu saja aku tak mau ini segera berakhir. 
Aku belum sepenuhnya mengenal kota ini. 

Namun, aku segera sadar kalau jalan masih panjang. Ada hal-hal yang harus segera diselesaikan dan menunggu untuk diwujudkan. Lagi pula, kalau ini kesempatan pertama, tidak berarti ini kesempatan terakhir, bukan ? 

Mentari mulai pudar di ujung cakrawala. Aku segera beranjak. Sambil merapal doa, kutitip seluruh mimpi pada senja terakhir di Paris. 
Pada Carrousel du Louvre yang mengerlip. 
Kutitip renjana pada Montparnasse yang menggapai langit. 
Pada Eiffel yang pandai memperdaya diri.
Juga pada sela-sela Montmartre yang merayu untuk dijelajahi. 

Malam kini menyambut, gugusan cahaya tampak indah menyelimuti kota. Kini saatnya kuucapkan, sampai jumpa. 

Comments