Cerpen - Sebait Luka di Chao Praya
Gemerisik angin membelai wajah-wajah sumringah walau udara masih terasa panas. Chao Praya menyapa wisatawan dengan arusnya yang tenang dan beberapa perahu berlalu-lalang. Bianglala besar menyita atensi dengan cahaya yang berpendar terang. Tak ada apapun di langit malam. Awan dan polusi menutup sebagian najam.
Seorang perempuan baru saja turun dari perahu yang mengantarnya. Ia tampak terburu-buru berjalan, lalu berhenti di salah satu deretan bangku yang menghadap ke sungai.
" aku udah di Asiatique." kata wanita itu sambil berbicara dengan seseorang lewat handphonenya.
" ohh sebentar, aku kejebak macet, mungkin setengah jam lagi baru sampe. Kamu dimananya ? ", jawab seseorang.
" di balkon deket sungai, cepet yaa ", kata perempuan itu sambil menutup panggilan.
Dia menghela napas berat. "Duh, kenapa aku mau aja ya ketemu dia lagi. Argh.. coba aja gak posting lagi liburan disini. Huft, gagal lagi deh move-onnya." katanya berkeluh kesah. Ia berdiri, lalu menghampiri balkon yang memisahi sungai. Melihat Chao Praya membuat dirinya merenung.
"5 tahun ternyata bukan waktu yang lama ya, Ka. Gak lama karena ternyata rasanya baru beberapa bulan lalu semua mulai terlihat salah. Lalu, lihat aku sekarang, aku masih merasa sedih dan marah atas kesalahan-kesalahan yang lalu. Sayangnya, aku masih menyimpan perasaan itu. Makanya, aku setuju saja bertemu ", katanya dalam hati.
Ia menyusuri balkon kayu. Bangunan di seberang sungai membuat Bangkok tampak larut dalam hiruk pikuk. Ia berjalan ke arah bianglala raksasa, melewati beberapa restoran, kios makanan dan bangku-bangku serta meja yang berjajar. Kini pikirannya mengajak ia bercengkrama lebih jauh. Terlebih, di tempat inilah ia mulai menemukan kesalahan-kesalahan pada masa lalunya itu.
Wanita itu terus berjalan. Kini bianglala dengan tulisan “chang” tepat berada di hadapannya. Ia hanya menatapnya sebentar, menengadah sampai ujung lampu berpendar. Langkahnya kini menelusuri Asiatique lebih dalam. Sambil terus berjalan, ia berkontemplasi lama. Bercengkerama seolah ada seseorang di hadapannya.
“ Kalau aku tahu sejak dulu, mungkin aku tak akan sesedih ini. Kalau bisa, aku ingin kembali saat kesalahan-kesalahan itu belum ada. Mungkin baiknya kembali saat kita pertama bertemu.
Coba saja dulu kita tak akrab, tak saling meledek dan bercanda, tak satu kampus, tak perlu satu organisasi, tak jadi teman dekat, tak berbagi cerita personal, tak berbagi dan saling mendukung mimpi, tak terjebak pada situasi yang sama, tak usah menangis pada kerja kita yang gagal, tak saling menguatkan, dan pada ‘tak seharusnya’ yang lain. Tapi, coba saja aku tak perlu jatuh, tak perlu menganggap ada rasa yang tumbuh, tak usah senang saat diperlakukan melebihi teman, tak perlu berperasaan berlebihan. Kesalahannya ternyata ada pada diriku juga.
Oh.. dan aku ingat, betapa lugunya aku saat 5 tahun lalu pergi ke tempat ini bersamamu. Aku tahu sangat mudah menebak ekspresi bahagiaku saat kita menjelajah Asiatique tanpa teman-teman yang lain. Sama seperti waktu itu, kita berkeliling, bercanda dan berbincang tentang banyak hal. Lalu, di bangku yang menghadap ke sungai Chao Praya, aku sudah siap untuk mendengar apapun. Aku tak bisa menyembunyikan debar yang kurasa. Saat itu kamu bilang…”
“May..Maya!” panggil seseorang. Mengembalikan wanita itu dari lamunannya. Tanpa sadar ia sudah kembali ke tempat awal. Bangku yang menghadap ke sungai.
“Eh..Caka, kok kamu gak telfon kalau udah sampe?”
“Oh..kalem. aku baru aja sampe terus langsung liat kamu lagi melamun sambil jalan” katanya.
Maya baru sadar ternyata Caka tidak sendiri. Ia bersama seorang lelaki, tinggi, tegap, berisi dan berwajah bersih khas lokal.
“Ohiya..kenalin. Ini Tob. Dia pacarku” ucap Caka.
“Oh..Salam kenal”, ucap Maya sambil mengulurkan tangan dan tersenyum lebar.
Kini kenangan yang memenuhi pikiran Maya terasa lengkap. Disinilah ia mulai melihat kesalahan-kesalahan untuk pertama kalinya. Sekali lagi, hancur sudah dunianya.
Comments
Post a Comment